Rama Dan Sinta : Sebuah Kisah Tentang Ironi Cinta

Rama Dan Sinta : Sebuah Kisah Tentang Ironi Cinta

Suatu hari, Rahwana menculik Sita. Rama, suaminya, bagai tersambar petir.

kabar yang dibawa burung-burung itu

melebihi anak panah yang lepas dari busurnya

dan Jatayu pun tak dapat mengejarnya

dengan sayapnya yang setengah patah

dan langit berduka

ketika Sinta menjatuhkan cincinnya (“Kisah Rahwana dan Sinta”)

Negeri yang dituju Rahwana adalah Alengka. Di sana, Rahwana terus menggodanya, tetapi Sita mati-matian menolaknya demi rasa cinta dan kesetiannya yang tiada banding terhadap Rama, suaminya. Sikap Sita itu tercermin dalam arti namanya dalam bahasa Sanskerta, yakni “warna putih, sejuk, atau dingin sekali” (Pudjiastuti: 4). Di lain pihak, Rama berusaha menyelamatkan Sita dengan bekerjasama dengan Hanoman. Sayangnya, setelah Sita selamat, Rama malah meragukan kesucian Sita karena ia sudah melewati waktu 14 tahun bersama Rahwana. Sita shock berat, tetapi ia hanya terdiam dan tak membantah apapun.

“Cintaku padamu, Adinda,” kata Rama, “adalah laut yang pernah bertahun memisahkan kita, adalah langit yang senantiasa memayungi kita, adalah kawanan kera yang di gua Kiskenda. Tetapi…,” Sita yang hamil itu tetap diam sejak semua, “kau telah tinggal dalam sangkar raja angkara itu bertahun lamanya, kau telah tidur ranjangnya, kau bukan rahasia lagi baginya” (“Benih”)

Dari kutipan itu, terlihat bahwa Rama sangat mencintai Sita. Namun, Sita yang sudah tinggal selama 14 tahun di tempat Rahwana, membuatnya ragu akan kesucian istrinya. Sita pun menyuruh Laksmana, adik Rama, untuk mengumpulkan kayu bakar. Sesaat sebelum Sita terjun, berbagai perasaan berkecamuk di dadanya.

Dalam kesusastraan Veda dan Sanskerta, tindakan istri yang membakar diri dalam upacara pengorbanan biasanya dilakukan untuk membersihkan diri. Seperti Rama yang mencintai Sita, Sita juga mencintai Rama. Bahkan, sangat mungkin cintanya kepada Rama jauh lebih besar daripada cinta Rama terhadap Sita. Sita memang kecewa Rama menganggapnya sudah tidak suci lagi. Bahkan, ia meragukan rasa cinta Rama, Sita marah. Awalnya Sita bersikukuh bahwa dirinya suci, tapi lama kelamaan ia mulai ragu terhadap dirinya sendiri. Jika Rahwana tak pernah menyentuhnya ketika ia terjaga, mungkinkah Rahwana sempat melakukan sesuatu ketika ia tertidur? Karena itulah Sita tak berkata apa-apa ketika Rama menyuruhnya terjun ke dalam api.

Akhirnya, walau enggan, Sita akhirnya terjun ke dalam api dengan tujuan membuktikan dirinya tidak bersalah dan diterima lagi oleh Rama dan rakyat Ayodya. Sita merasa sangat kecewa dan marah, tapi ia berada dalam lingkungan sosial yang menggunakan upacara Sati (pembakaran diri istri) untuk membersihkan diri. Hal itu ditambah oleh keraguan akan kesucian dirinya. Semarah apapun dan sekecewa apapun, Sita tetap mencintai Rama. Karena itulah ia menuruti perintah Rama.

Aku Sinta yang urung membakar diri

Demi darah suci

Bagi lelaki paling pengecut bernama Rama

Lalu aku basuh tubuhku, dengan darah hitam

Agar hangat gelora cintaku

Tumbuh di padang pendakian yang paling hina (“Elegi Sinta”)

Bisa jadi Rama pun meyakini kesucian Sita. Walaupun seandainya Sita sudah tidak suci, Rama tetap ingin menerima Sita apa adanya dan melupakan apa yang terjadi di tempat Rahwana. Namun, untuk menjaga kewibawaannya di hadapan rakyatnya, Rama harus mengambil keputusan tegas supaya tak ada awan keraguan. Oleh karena itulah, Rama meminta dengan tegas kepada Sita untuk membuktikan kesuciannya. Keduanya saling mencitai dalam ironi.

Yang kutahu sekaligus tidak aku mengerti,

Bisik Hanoman: hanya satu, Gusti,

Banyak orang rela mati karenanya

Tak peduli terang atau gelap

Jalan yang dijelang


No comments:

Contact Us

Name

Email *

Message *

Back To Top